Kekuatan utama ekonomi bangsa ini adalah kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sementara dasar dan pilarnya adalah pertanian. Maka untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional perlu diprioritaskan peningkatan nilai tambah pertanian dengan menggunakan pupuk majemuk.
Kalau mau jujur, sesungguhnya, sumber daya alam dan pertanian inilah potensi dan keunggulan bangsa ini. Tapi seringkali kita mengabaikan potensi ini, dengan lebih memprioritas-kan pembangunan industri yang berbasis bahan baku impor. Sehingga saat terjadi krisis ekonomi, sektor berbasis bahan baku impor itu kelimpungan. Tapi sektor pertanian dan industri yang reources based justru tumbuh positif.
Tragedi krisis ekonomi ini pastilah menyadarkan kita bahwa sesungguhnya dasar, pilar dan keunggulan ekono-mi kita adalah pertanian dan sember daya alam. Maka seyogianya kita mempriori-taskan peningkatan nilai tambah sumber daya alam dan pembangunan sektor pertanian sebagai motor kemajuan bangsa ini.
Kemiskinan yang masih membelenggu sebagian besar petani kita, cukup membuk-tikan betapa seringkali kita mengabaikan potensi dan keunggulan sumber daya alam dan pertanian. Kendati berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk membantu petani agar terentas dari kemiskinan, antara lain dengan KUT, subsidi dan kebijakan harga dasar gabah, tapi mayoritas petani masih tetap miskin. Nasib petani masih saja cenderung tidak diuntung-kan oleh keadaan dan kondisi makro ekonomi yang melingkupinya.
Terutama nasib petani yang berada di sektor tanam-an pangan, terutama padi (60%), bahkan tidak menik-mati surplus ekonomi seba-gaimana dialami petani lain yang berorientasi ekspor. Harga gabah yang diterima petani padi tidak sebesar yang diperoleh petani lain. Apalagi jika dibandingkan dengan kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya.
Pemerintah pada awal tahun 2003, memang telah menaikkan harga dasar gabah (HDG), dengan Inpres No. 9/2002 yang menetap-kan HDG baru Rp 1.725/kg GKG (gabah kering giling), naik sekitar 12% dibanding-kan harga dalam Inpres No. 9/2001 (Rp 1.519/kg GKG).
Namun, kebijakan menaik-kan HDG ini kemudian diikuti pula dengan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), listrik, telepon, tol, gas elpiji, transportasi, harga pupuk dan harga kebutuhan pokok lainnya. Sehingga belum sempat petani menikmati HDG baru (karena belum panen) mereka sudah harus merasakan dampak kenaikan harga-harga kebutuhan pokok itu. Petani (padi) terpaksa membayar lebih mahal, sehingga mereka tetap terjebak dalam lingkup kemiskinan.
Dampak dari kenaikan harga ini, juga menimbulkan kesulitan baru bagi kaum buruh. Sama seperti petani, kendati ada kenaikan gaji, namun selalu lebih rendah dari kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.
Akibatnya kegairahan petani untuk bercocok tanam bisa menurun. Bahkan sebagian dari petani beralih profesi menjadi tukang becak, tukang ojek, dan kuli bangunan di kota. Di antaranya bahkan ada yang menjual lahan pertanian yang kemudian oleh pembeli dikonversi ke usaha non-pertanian. Sementara, petani yang tetap bertahan menjadi sangat konservatif, tidak mudah lagi diajak menggunakan bibit unggul dan melakukan pemupukan berimbang yang harga pupuknya memang relatif lebih mahal tetapi produktivitasnya jauh lebih tinggi.
Kondisi ini bisa berakibat merosotnya produktivitas dan rendemen padi, yang pada gilirannya berujung pada merosotnya produksi beras nasional. Ketahanan pangan nasional pun menjadi terancam. Akhirnya, impor beras dilakukan.
Dengan adanya impor beras, berarti kesulitan baru muncul lagi. Apalagi beras impor itu dijual lebih murah karena dumping. Sebab beras impor itu merupakan kelebihan produk dari negara pengekspor. Ujungnya petani dalam negeri juga yang dirugikan.
Nilai Tambah
Maka untuk mengatasi hal ini, sebaiknya ditempuh dengan cara meningkatkan nilai tambah sumber daya alam, dalam konteks ini, nilai tambah pertanian (padi), yakni dengan peningkatan penggunaan pupuk majemuk (berimbang). Industri pupuk majemuk harus dikembang-kan secara nasional oleh Deperindag.
Uraian di atas cukup memberi gambaran pilihan mana yang terbaik untuk meningkatkan pendapatan petani (padi). Ada dua cara yakni menaikkan harga gabah dan/atau meningkat-kan produktivitas pertanian padi. Namun dari dua pilihan itu, menurut hemat saya, yang lebih baik dan lebih menguntungkan petani adalah meningkatkan produktivitas.
Ada beberapa alasan mengapa peningkatan produktivitas lebih baik dari menaikkan harga gabah. Jika harga gabah yang dinaikkan, misalnya 20%, biasanya akan berakibat naik juga harga barang kebutuh-an lain. Sehingga kenaikan harga gabah itu tidak berarti meningkatkan daya beli petani secara ril 20%, tetapi mungkin hanya 5%.
Selain itu, kenaikan harga gabah juga akan menyulitkan konsumen terutama pegawai dan kaum buruh. Apalagi jika pendapatan buruh tidak naik, sementara harga beras dan kebutuhan lainnya mengalami kenaikan.
Sedangkan dengan meningkatkan produktivitas akan secara ril meningkat-kan pendapatan petani se-kaligus lebih meningkatkan ketahanan pangan. Dengan harga dasar gabah yang sudah ditetapkan pemerintah, peningkatan produksi petani padi 2-4 ton per hektar akan secara langsung meningkatkan pendapatan petani tanpa diikuti kenaikan harga barang kebutuhan lainnya.
Peningkatan produski ini ditempuh dengan peningkatan nilai tambah pertanian (padi). Nilai tambah itu bisa diperoleh dengan menggunakan pupuk majemuk (NPK). Dari hasil ujicoba di beberapa daerah di Pulau Jawa dan di luar Jawa, penggunaan pupuk Phonska (pupuk majemuk) terbukti dapat meningkatkan produksi padi rata-rata 2,45 ton per hektar.
Data yang diperoleh dari IMPHOS Phospate Newsletter Edisi Juni-September 2000 mengenai pengaruh pemu-pukan hara N, P dan K pada tanaman padi di Punjab, Pa-kistan tahun 1998, menun-jukkan bahwa penggunaan pupuk majemuk (N-P-K = 150-90-60) berhasil menaik-kan produksi dari 2 ton (tanpa pupuk) menjadi 6 ton per hektar atau kenaikan 4 ton per hektar. Dengan hanya menggunakan pupuk tunggal (N=150) produksi naik dari 2 ton menjadi 3,7 ton per hektar. Dan menggu-nakan pupuk (N-P = 150-90) poduksi naik menjadi 5,6 ton per hektar. Lihat Tabel I.
Jadi nilai tambah dari penggunaan pupuk akan meningkatan produksi padi secara signifikan.
Berikut ini gambaran nilai tambah dari peningkatan produksi padi nasional dengan menggunakan pupuk tunggal (urea). Luas lahan tanam nasional 11,36 juta hektar menggunakan pupuk sebanyak 3,4 juta ton akan menaikkan produktivitas 1,7 ton per hektar (dari 2 ton menjadi 3,7 ton per hektar). Maka total kenaikan produksi padi nasional akan mencapai 19,31 juta ton (11,36 juta x 1,7 ton) yakni dari 22,72 juta ton menjadi 42,03 juta ton.
Dengan demikian akan tercipta kenaikan pendapatan petani secara nasional sebesar Rp 23,17 triliun (19,31 juta ton x Rp 1,2 juta) yakni dari Rp 27,26 triliun menjadi Rp 50.44 triliun per tahun. Dan jika dikurangi dengan biaya pupuk Rp 3,7 trilun (3,4 juta ton x Rp 1.100/kg) maka kenaikan pendapatan netto petani padi secara nasional menjadi Rp 19,43 triliun (Rp 23,17 triliun – Rp 3,7 trilun). Lihat Tabel II.
Sementara nilai tambah ini akan semakin meningkat lagi dengan menggunakan pupuk majemuk (NPK). Untuk lahan tanam 11,36 juta hektar, penggunaan pupuk memang meningkat menjadi 5,68 juta ton NPK. Namun kenaikan produktivitas akan mencapai 4 ton per hektar. Dengan demikian terjadi kenaikan produksi sebesar 45,44 juta ton (11,36 juta ha x 4 ton). Itu berarti terjadi kenaikan pendapatan petani secara nasional sebesar Rp 54,53 triliun (45,44 juta ton x Rp 1,2 juta). Jika dikurangi biaya pupuk Rp 11,94 triliun (5,68 juta ton x Rp. 2,1 juta) maka kenaikan pendapatan netto petani secara nasional mencapai Rp.42,59 triliun. Lihat Tabel II.
Jadi dengan menggunakan pupuk majemuk (NPK) terjadi kenaikan pendapatan netto petani secara nasional sebesar Rp 23,16 triliun dibandingkan dengan pendapatan netto petani jika menggunakan pupuk tunggal (N atau urea).
Jadi walaupun biaya pupuk naik (lebih mahal) Rp 8,24 trilun yakni dari Rp 3,7 trilun (3,4 juta ton x Rp 1.1 juta) biaya pupuk tunggal menjadi Rp 11,94 triliun (5,68 juta ton x Rp. 2,1 juta) biaya pupuk majemuk, tapi peningkatan pendapatan petani jauh lebih besar yakni dari Rp 19,43 triliun menjadi Rp.42,59 triliun atau kenaik-an mencapai Rp 23,16 triliun.
Itu baru nilai tambah dari tanam padi. Belum lagi nilai tambah dari komoditi pertanian lainnya, seperti coklat, kelapa sawit, kentang dan lain-lain jika mengguna-kan pupuk majemuk.
Rauf Purnama, Penulis adalah pemikir dan pelaku industri.