KENAPA INDONESIA KALAH BERSAING DENGAN CINA?

1930

Rauf Purnama, Dewan Insinyur PII

De-industrialisasi industri tekstil
Pada saat ini pasar dalam negeri Indonesia dibanjiri oleh berbagai produk impor dari Cina. Meskipun pada umumnya kualitas barang-barang produk Cina yang beredar di pasar Indonesia tidak jauh berbeda dibandingkan dengan hasil produksi industri dalam negeri tapi produk Cina dijual lebih murah sehingga lebih laku dipasaran. Para pedagang lebih suka menjual produk Cina karena bisa menjual lebih banyak sehingga mampu meningkatkan omzet dan keuntungan. Keadaan ini menyebabkan kondisi industri nasional jadi kritis karena harus menurunkan target produksi dan penjualannya. Bahkan banyak usaha industri yang sudah tutup dan beralih ke usaha dagang.

Menurut Kementerian Perindustrian berbagai sektor industri yang sudah terindikasi kritis adalah industri tekstil & produk tekstil, alas kaki, elektronik, furniture kayu & rotan, mainan anak, permesinan, besi baja, makanan & minuman serta kosmetik (Harian Bisnis Indonesia tanggal 12 April 2011). Indikasi kerugian antara lain ditandai dengan penurunan produksi sekitar 25-50%, penurunan penjualan di pasar domestik 10-25%, dan penurunan keuntungan 10-25%. Selain itu terjadi juga penurunan jumlah tenaga kerja sekitar 10-25%.

Kenapa Indonesia kalah bersaing dengan Cina?
Pertanyaan paling mendasar adalah kenapa produk-produk Cina mampu bersaing dipasar dalam negeri Indonesia? Sejak diberlakukannya C-AFTA (China-Asean Free Trade Area) pada Januari 2010, bea masuk untuk barang-barang yang diperdagangkan di negara-negara Asean dan China ditetapkan sebesar 0-5%. Dengan tingkat bea masuk seperti itu maka barang-barang yang diproduksi di China jadi lebih kompetitif bila dijual di Indonesia. Penyebab dari semua ini adalah karena biaya produksi barang-barang tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan produk Indonesia (diabaikan adanya kemungkinan dumping).
Pertanyaan berikutnya adalah kenapa barang-barang yang diproduksi China lebih murah dari pada barang-barang yang sama diproduksi di Indonesia? Inilah pertanyaan kunci yang harus dianalisis dan dijawab sebab2-nya. Sejatinya untuk menghasilkan barang jadi (consumer goods seperti sepatu, garment dll) yang siap digunakan oleh pemakai, telah melalui serangkaian proses produksi yang terjadi di berbagai sektor industri mulai dari sektor industri hulu, sektor industri intermediate sampai dengan sektor industri hilir. Rangkaian industri ini tergantung satu sama lainnya layaknya air mengalir di sungai. Bila aliran sungai di bagian hulu terganggu maka gangguan itu akan berpengaruh ke bagian hilir. Demikian juga dengan rangkaian industri ini.

Keadaan yang sangat crucial di Indonesia pada saat ini adalah telah terjadinya ketimpangan antara sektor industri hulu dan sektor industri hilir. Banyak industri di sektor industri hilir tidak didukung oleh kuatnya sektor industri hulu sebagai penyedia bahan baku untuk industri hilir. Sebagai contoh di industri tekstil & produk tekstil. Untuk menghasilkan garment yang siap digunakan oleh pemakai, rangkaian produk berturut-turut dari hulu ke hilir adalah mulai dari naphtha (hasil kilang minyak), paraxylene (produk hulu), purified terepthalic acid/PTA (produk intermediate), polyester fiber (produk intermediate), tekstil (produk hilir) dan terahir jadi garment (produk hilir siap dipakai). Keadaan di Indonesia pada saat ini adalah kapasitas produksi produk hulu paraxylene lebih rendah dari kebutuhan industri hilirnya sehingga Indonesia sangat tergantung dari impor paraxylene.

Saat ini Indonesia membutuhkan sekitar 1,2 juta ton paraxylene tetapi produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh dua produsen hanya sekitar 770,000 ton pertahun sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia harus mengimpor. Keadaan ini menyebabkan harga paraxylene lebih mahal dan setiap saat tergantung supply demand dunia dan bahkan bisa dipermainkan oleh para pedagang. Akibat akhirnya adalah industri tekstil Indonesia tidak mampu bersaing seperti yang saat ini sedang berlangsung. Masalah yang terjadi di sektor tekstil & produk tekstil seperti diilustrasikan diatas, terjadi juga di sektor-sektor lainnya seperti alas kaki, besi baja dll.

Mapping industri tekstil & produk tekstil (TPT) Indonesia
Industri tekstil & produk tekstil/garment pernah menjadi andalan ekspor Indonesia namun kondisinya sekarang terseok-seok sesudah kalah bersaing dengan produk TPT dari China. Ilustrasi yang digambarkan dengan diagram balok seperti terlampir menjelaskan perjalanan panjang proses produksi untuk menghasilkan garment sejak dari industri hulu. Didalam diagram balok tersebut dapat dilihat juga ketergantungan industri garment terhadap impor bahan baku, bahan penunjang dan permesinan.

Untuk menghasilkan garment, di sektor hulu diperlukan bahan baku paraxylene, acetic acid dan ethylene glycol. Pada saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan ketiga bahan baku tersebut sehingga masih tergantung kepada diimpor. Selain itu kebutuhan peralatan pabrik khususnya mesin (peralatan putar) serta kebutuhan energi untuk mendukung operasi pabrik, juga masih tergantung kepada impor. Di sektor hilir, Indonesia masih harus mengimpor dyes (bahan pewarna) sedangkan untuk kebutuhan asam formiat dan hydrogen peroksida sebagai bahan pendukung industri tekstil, Indonesia sudah mampu untuk mencukupi sendiri.

Langkah penanggulangan.
Bila tidak dilakukan langkah-langkah yang realistis maka sudah dapat dipastikan kecenderungan membanjirnya produk Cina akan makin membesar sehingga akan makin menambah banyak penderitaan terhadap industri nasional yang mati suri atau bahkan harus ditutup karena tidak mampu bersaing. Seperti diuraikan dimuka, bahwa untuk menghasilkan produk yang siap digunakan oleh pemakai, harus melewati beberapa tahapan produksi mulai dari sektor industri hulu, intermediate sampai industri hilir.

Karakteristik industri hulu, intermediate dan hilir berbeda-beda. Industri hulu adalah industri yang bersifat high investment, high risk dan low profit sedangkan industri intermediate/hilir bersifat low/medium investment, low/medium risk tapi high profit. Karena sifat industri hulu seperti itu, maka di negara-negara yang sudah relative lebih maju ekonominya seperti Korea, Taiwan, China dan lain-lain, pembangunan industri hulu dimotori oleh negara. Hal ini disebabkan karena swasta tidak mampu dan kurang berminat untuk membangun industri hulu.

Tidak seperti di negara-negara seperti tersebut diatas, Indonesia pada saat ini belum memiliki BUMN yang khusus bergerak dibidang industri petrokimia hulu. Dengan melihat pengalaman di negara-negara tersebut, Pemerintah Indonesia sebaiknya ikut mendorong pembangunan industri petrokimia hulu seperti dilakukan dinegara-negara tersebut diatas.

Apa yang harus dilakukan selanjutnya
Langkah pertama tentunya membangun industri hulu yang sangat strategis yaitu Olefin Center dan Aromatic Center. Dari kedua industri tersebut akan dihasilkan berbagai produk hulu yaitu bezene, toluene, xylene, ethylene, propylene, butadiene. Selanjutnya Pemerintah bekerja sama dengan swasta membangun industri intermediate yaitu industri turunan produk hulu tersebut diatas yang merupakan bahan baku untuk industri hilir.

Bila rencana ini berjalan lancar maka diharapkan ketersediaan bahan baku industri hilir dapat dicukupi oleh industri hulu didalam negeri sehingga industri hilir tidak tergantung kepada impor bahan baku dan ini berarti struktur industri nasional menjadi kuat. Bila struktur industri kuat maka daya saing industri nasional juga menjadi kuat. Faktor daya saing adalah faktor sangat penting dalam menanggulangi persaingan global yang perlu menjadi perhatian semua pemangku kepentingan seperti Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat konsumen. Disamping faktor daya saing, untuk menyelamatkan industri dalam negeri tentunya masih ada faktor-faktor lain yang bisa dilakukan oleh Pemerintah seperti kebijakan dalam instrument perdagangan dan kebijakan fiskal.

Siapa yang harus bertanggung jawab?
Pada awal masa pembangunan sejak kemerdekaan Republik Indosnesia, perusahaan swasta Indonesia belum ada yang memiliki kemampuan membangun industri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa itu. Melihat keadaan ini, meskipun tidak cukup memiliki dana, Pemerintah mengambil inisiatif membangun industri yang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu Pemerintah menjadi pioneer pembangunan industri yang dibutuhkan masyarakat seperti untuk pangan (industri pupuk), untuk pangan (indsutri tekstil), untuk papan (industri semen), untuk jembatan dan gedung (industri baja). untuk pendidikan (industri kertas), infrastruktur, refinery, jalan dan lain-lain.

Pelopor pembangunan industri dimotori oleh Kementerian Perindustrian dengan membentuk BUMN (BUMN Pangan, Sandang, Infrastruktur dll) yang selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Keuangan cq Direktorat Jenderal BUMN.

Setelah industri tumbuh dan berkembang serta perusahaan swasta sudah memiliki kemampuan teknis dan financial, kemudian Pemerintah tidak berperanan sebagai pionir lagi pada industri yang disebutkan diatas. Pembangun industri diserahkan kepada swasta sehingga tumbuh dan berkembang industri hilir seperti tekstil, semen, kertas dan lain-lain.

Mundurnya Pemerintah sebagai pionir pembangunan industri ternyata menyebabkan pertumbuhan industri menjadi sangat lambat dan rontoknya industri hilir seperti industri tekstil. Seperti kita ketahui bahwa struktur industri tekstil menjadi tidak kokoh lagi karena industri hilir sangat tergantung pada impor bahan baku (industri hulu dan industri antara/intermediate yang dimiliki oleh BUMN di Luar negeri). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan industri hilir yang relative cepat, tidak diimbangi oleh pertumbuhan industri hulu/intermediate yang seharusnya diperankan oleh Pemerintah. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, pasar Indonesia dibanjiri oleh produk hilir dari China karena produk industri hilir Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk China.

Keadaan ini tidak boleh terus berlangsung, harus ada perubahan untuk menyelesaikan masalah ini dengan Kementerian Perindustrian sebagai pelopor pembangunan industri tapi bukan lagi pada industri hilir seperti dulu namun pada industri yang high investment, high technology, high risk tapi strategis yaitu industri hulu (Basic Industry).

Bila melihat sejarah pembangunan industri nasional tahun 1970-an sampai decade 1990-an, Kementerian Perindustrian merupakan motor penggerak pembangunan industri terutama di sektor industri hilir. Selanjutnya setelah pembangunan industri selesai dan perusahaan berjalan dengan baik, pengelolaannya diserahkan kepada Kementerian Keuangan yang pada saat itu memiliki Direktorat Jenderal BUMN. Mengingat saat ini banyak industri yang high investment, high technology, high risk tetapi strategis dan tidak bisa dibangun oleh swasta karena IRR-nya rendah, maka perlu dipelopori oleh Pemerintah dan jika perlu bersama-sama dengan swasta nasional dengan membentuk BUMN Industri Hulu (Basic Industry).

BUMN ini bergerak sebagai Project Developer Basic Industry dengan memanfaatkan dana yang tersedia dari PIP (Penyertaan Investasi Pemerintah). Bila Basic Industry ini telah mulai beroperasi secara komersial, pengelolaan selanjutnya dapat diserahkan ke Kementerian BUMN dan setelah operasi komersil bisa go public serta selanjutnya bisa saja dijual ke swasta seperti contoh di beberapa negara.

Konsep ini telah dilakukan di beberapa negara yang industri antara (intermediate) dan industri hilir-nya bisa bersaing karena tersedianya bahan baku dari industri hulu yang dimiliki oleh BUMN di beberapa negara seperti di Thailand yang memiliki BUMN NPC (National Petrochemical Corporation), Singapura memiliki BUMN PCS (Petrochemical of Singapore), China memiliki BUMN Sinopec dan CNPC, Malaysia memiliki BUMN Petronas dan Taiwan memiliki BUMN CPDC (Chinese Petrochemical Development Corporation), Iran memiliki BUMN National Petrochemical Corporation (NPC), Mesir memiliki Egyptian Petrochemical Holding Company (ECHEM) dan Saudi Arabia memiliki Saudi Basic Industry Corporation (SABIC).

SABIC dengan omzet senilai US$ 40 milyar/tahun mempunyai industri Petrokimia dengan kapasitas terpasang sebesar 12 juta ton/tahun pada tahun 2008 dan akan ditingkatkan menjadi 20 juta ton/tahun pada tahun 2012. Seperti telah dibahas didepan, industri hulu atau Basic Industry adalah industri yang high investment, high technology, low profit, high risk tetapi sangat strategis.