Sebetulnya meningkatkan nilai tambah melalui industri itu sudah bagus sejak dimulai oleh pendiri NKRI, ini dengan mulai dibangunnya industri untuk kebutuhan pangan (pupuk), kebutuhan sandang (tekstil), utk kebutuhan papan (semen) dan pembangunan industri Indonesia persis sama dengan pembangunan industri di Korea Selatan yaitu pupuk, tekstil dan semen.
Pada tahun 1961 Indonesia dan Korea Selatan sama-sama negara miskin dgn GDP perkapita hanya beda $35 (Indonesia $47 dan Korea Selatan $82).
Dengan perintah Park Chung Hee, Korea Selatan membangun Industri hulu (upstream Industry) berbasis logam dan industri berbasis migas yaitu petrokimia yang dimiliki negara secara besar-besaran sehingga Korea Selatan membangun industri hulu sampai hilir rata-rata lebih dari 200 industri tiap tahun dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negrinya dan untuk export. Pembangunan industri berbasis SDA Korea Selatan meskipun dengan import bahan mentah, dampaknya Korea Selatan menjadi negara maju dan makmur sehingga jauh meninggalkan Indonesia. Menurut majalah Asia Monitor, GDP perkapita Korea Selatan tahun 2014 besarnya $28,000 dan Indonesia hanya $3,551.
Korea Selatan yg tidak memiliki migas maupun batubara tidak pernah import BBM sedangkan Indonesia yg menghasilkan migas dan batubara import BBM. Ironisnya jaman penjajahan Belanda Indonesia tidak pernah import BBM karena Belanda bangun kilang utk Sumatra di Pangkalanbrandan dan di Plaju, utk Jawa di Cepu, utk Kalimantan dan Sulawesi di Balikpapan dan utk Indonesia Timur di Sorong dan dilanjutkan oleh Bung Karno dan Pak Harto sampai thn 2000 Indonesia tidak pernah import BBM karena ada tambahan pembangunan kilang baru oleh pemerintah. Sejak tahun 2000 pembangunan kilang diserahkan pada swasta dan sampai thn 2004 konon ada 40 perusahaan swasta yang dapat ijin utk bangun kilang dan sampai saat ini tidak satupun yang jadi karena pembangunan kilang selain biaya investasi mahal juga diperlukan lisensi teknologi dan akibatnya Indonesia saat ini import BBM 800,000 barrel perhari dan thn 2020 akan mencapai 1 juta barrel kalau tidak ada tambahan kilang baru.
Kerugian Indonesia akibat import BBM, biaya yg harus dikeluarkan utk biaya kilang diluar negri nilainya $ 8 juta perhari (pada harga crude oil $40 / barrel). Apa yg bisa ditarik kesimpulan dari sini dan kedepan industri apa yg harus jadi prioritas. Jadi sangat tepat sekali keputusan gas Masela oleh pak RR didarat karena ada program pembangunan industri. Namun masih ada yg pincang pembangunan saat ini misalnya utk infrastruktur ada KPIP (Komite Pembangunan Infrastruktur Prioritas) dengan badan pengelolanya SMI (Sarana Multi Infrastruktur) tapi untuk industri tidak ada? atau belum? Jika belum mudah-mudahan di Menko Ekonomi dibentuk lembaga pembiayaan untuk industri seperti untuk infrastruktur. Salam.
RP