Korelasi Harga Beras, Pupuk dan Gas

574

Selama ini kemampuan daya beli petani (harga gabah) selalu dijadikan sebagai dasar perhitungan untuk menentukan harga pupuk. Namun secara langsung belum ada korelasi harga gabah dengan harga gas.

Dalam beberapa kali mengikuti rapat kordinasi membicara-kan berapa harga gas untuk pabrik pupuk dan berapa harga pupuk untuk petani, sering berlangsung tanpa memiliki formula perhitungan tertentu. Sehingga keputusan kadangkala diambil berdasarkan kondisi saat itu.

Ulasan singkat ini, menggambarkan secara garis besar tentang korelasi harga gabah (beras) dengan harga pupuk dan harga gas untuk pabrik pupuk dan dikaitkan lagi dengan nilai tukar. Dari korelasi itu dapat dihitung berapa selayaknya harga gabah, pupuk dan gas, serta kapan dan pada bagian mana diperlukan subsidi agar ketiga bidang usaha (pertanian, industri pupuk dan gas) tetap terjaga berjalan secara komersial.

Berdasarkan korelasi itu, kami menyuguhkan sebuah formula yang mungkin berguna sebagai solusi dari masalah yang seringkali menyita waktu, tenaga, pemikiran dan dana itu. Formula ini berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak (dalam hal ini petani, terutama petani padi). Sehingga dasar perhitungannya dimulai dari kelayakan harga gabah (daya beli petani).

Petani harus sejahtera dari hasil pertaniannya. Artinya, hasil pertanian harus ditingkatkan dan harga jual (pasca-panen) harus dapat meningkatkan daya beli petani. Untuk meningkatkan hasil panen pertanian secara signifikan, pupuk menjadi komponen yang sangat diperlukan. Tanpa menggunakan pupuk, produksi pertanian pasti menurun dan pendapatan petani menurun serta bisa menyebabkan suatu bangsa kekurangan pangan.
Sementara industri pupuk memerlukan gas alam sebagai komponen penting. Sehingga harga gas sangat mempengaruhi biaya produksi pupuk, yang kemudian mempengaruhi harga jual pupuk.

Di lain pihak tingginya harga pupuk akan sangat memberatkan petani (konsumen pupuk) karena menurunkan pendapatan petani jika tidak diimbangi dengan kenaikan harga gabah atau beras. Sementara tingginya harga beras juga akan berdampak kepada konsumen terutama golongan bawah.

Dengan demikian, berorientasi kepada kesejahteraan rakyat (dalam konteks ini terutama petani), sebaiknya dasar penentuan harga pupuk dan gas dimulai dari kelayakan harga gabah (petani padi merupakan porsi terbesar dalam kegiatan pertanian). Semakin rendah harga jual gabah padi, semakin rendah pula kemampuan petani membeli pupuk. Maka setelah ditentukan berapa harga gabah yang bisa menjamin daya beli petani, baru dihitung berapa harga pupuk untuk petani dan berapa harga gas untuk industri pupuk. Dalam hal ini, peranan pemerintah sangat penting untuk tetap menjaga kelayakan usaha pertanian, usaha pupuk dan usaha gas berjalan secara komersial.

Jadi, selain mempertimbangkan kemampuan finansial petani (bukan satu-satunya pokok pertimbangan), pemerintah juga harus mempertimbangkan faktor ekonomi (komersial) dari pengusaha pupuk dan pengusaha gas. Dalam hal ini, pemerintah jangan menekan pengusaha gas untuk menjual gas kepada industri pupuk dengan harga yang ditentukan tanpa mempertimbangkan faktor lain, terutama kelaikan usaha gas itu sendiri.

Pemerintah tentu bijaksana dalam mempertimbang-kan beberapa kepentingan dalam hal ini. Bagaimana menyediakan pupuk yang yang terjangkau daya beli petani dan juga menguntungkan bagi pengusaha gas dan pengusaha pupuk itu sendiri.

Kemampuan petani dalam membeli pupuk erat hubungannya dengan harga gabah dan juga harga eceran tertinggi pupuk. Kedua faktor ini mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, itulah mengapa pemerintah selalu menghubungkan kedua faktor ini dalam menentukan harga eceran tertinggi (HET) pupuk.

Untuk dapat mempertahankan kemampuan petani membeli pupuk dengan harga beras berapa pun, maka perlu ada titik temu di antara kedua faktor ini. Korelasi antara harga eceran tertinggi (HET) pupuk dan harga beras pada 1986-1998 dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan harga pupuk. Ratio harga pupuk terhadap harga beras dalam kurun waktu 1986-1998 itu rata-rata 0,41.

Jadi, sebagai contoh, (Lihat Grafik RP 1), bila harga beras Rp 2.750/kg maka HET pupuk urea adalah 0.41 x Rp 2750 = Rp 1128/kg atau USD 125,28/ton (dengan kurs USD 1 = Rp.9000). Sementara, dengan harga pupuk urea sebesar USD 125,28/ton itu, harga gas alam untuk pabrik pupuk sesuai kelayakan proyek sekitar USD 1,06/MMBTU. (Pabrik pupuk membutuhkan gas alam + 30MMBTU/per ton urea).

Dengan harga tersebut di atas, pabrik pupuk telah mampu beroperasi secara komersial dan bersaing di pasar internasional. Begitu pula daya beli petani membeli pupuk sudah cukup tinggi. Namun, dengan harga gas USD 1,06/MMBTU, itu produsen gas masih sulit beroperasi secara komersial jika tidak disubsidi oleh pemerintah. Sesuai perhitungan kelayakan proyek, produsen gas alam layak beroperasi secara komersial dengan harga gas + USD 2,0/MMBTU. Dengan demikian masih diperlukan subsidi sebesar USD 0,94/MMBTU.

Namun jika harga beras dinaikan menjadi + Rp 3500/kg, maka harga pupuk urea naik menjadi Rp 1435/kg (0.41 x Rp 3500) atau setara USD 159,44/ton (USD 1,0 = Rp 9.000) atau naik USD 34.11/ton (dari USD 125,33/ton menjadi USD 159.44/ton). Dengan harga pupuk urea sebesar USD 159,44/ton itu, harga gas alam untuk pabrik pupuk sesuai kelayakan proyek adalah sekitar USD 1,94/MMBTU (Million Metric British Thermal Unit).

Dengan harga ini, subsidi untuk produsen gas alam semakin berkurang, yakni menjadi hanya + USD 0,06/MMBTU. Bahkan jika harga beras lebih besar dari Rp 3500/kg, subsidi untuk produsen gas alam tidak diperlukan lagi. Bahkan harga gas alam untuk pabrik pupuk bisal lebih besar dari USD 2,0/MMBTU.

Namun akibatnya, perlu diperhatikan, apabila harga jual beras itu terlalu tinggi, terutama bagi sebagian besar konsumen golongan bawah, bisa menimbulkan kerawanan sosial serta akan melemahkan daya saing di pasar internasional.

Faktor Nilai Tukar
Di samping harus memperhatikan korelasi harga gabah, harga pupuk dan harga gas, faktor (korelasi dengan) nilai tukar (kurs) juga berpengaruh. Makin kuat nilai tukar rupiah terhadap dolar, makin kuat juga daya beli petani membeli pupuk. Sebaliknya makin lemah nilai tukar rupiah terhadap dolar makin lemah pula daya beli petani membeli pupuk.

Demikian juga bagi produsen pupuk (yang menjual pupuk dalam rupiah), semakin kuat nilai tukar rupiah terhadap dolar, makin kuat juga daya beli produsen pupuk membeli gas. Sebaliknya makin lemah nilai tukar rupiah terhadap dolar makin lemah pula daya beli produsen pupuk membeli gas.

Sebagai contoh, bila nilai tukar USD 1 = Rp 10,000, gas dijual dengan harga USD 1,00/MMBTU, harga pupuk Rp 1200/kg atau USD 120/ton. Kemudian apabila nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp 8.000 = USD 1,0 dan harga pupuk tetap Rp 1200/kg berarti dalam dolar menjadi US$ 150/ton atau ada kenaikan USD 30/ton. Peningkatan ini akan meningkatkan daya beli pabrik pupuk membeli gas, dari USD 1,0 ke USD 2/MMBTU pada harga pupuk yang sama Rp 1,200/kg. Dengan harga ini, subsidi gas untuk pabrik pupuk berkurang. Untuk lebih jelas lihat Grafik RP 1 dan Grafik RP 2.

Jadi, ada banyak keuntungan yang muncul dengan memperhatikan korelasi harga gabah, pupuk, gas dan kurs. Antara lain dapat diketahui berapa banyak subsidi yang diperlukan oleh pengusaha gas, juga meningkatkan kemampuan petani padi dalam membeli pupuk dan membantu industri pupuk dalam mengembangkan bisnisnya.

Sebagai penutup, sekali lagi, dalam rangka kebijakan yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat (petani), maka langkah untuk menentukan harga gas dan pupuk harus didasarkan pada penentuan harga gabah terlebih dahulu. Hal mana harga gabah itu dapat meningkatkan daya beli petani.

Setelah harga gabah ditentukan, kemudian bisa ditentukan harga pupuk. Setelah itu dapat diketahui dan ditentukan harga gas untuk pabrik pupuk, apakah perlu disubsidi atau tidak. Sehingga ketiga bidang usaha itu bisa beroperasi secara komersial.

Penulis adalah pemikir dan pelaku industri.