Di antara Vietnam dan Thailand: Tidak banyak orang yang menduga kalau Vietnam akan mampu menyelenggarakan SEA Games yang tidak kalah hebatnya dengan Sea Games sebelum-sebelumnya. Ternyata, Sea Games ke 22 di Hanoi baru-baru ini berlangsung dengan sangat hebat. Bahkan tidak hanya itu, Vietnam benar-benar mampu menunjukkan prestasinya yang gemilang pada setiap cabang olah raga yang dipertandingkan, hingga dapat mengukuhkan diri sebagai juara umum Sea Games ke 22. Sementara itu, Thailand menduduki posisi juara umum kedua yang kemudian diikuti Indonesia pada urutan ketiga.
Ini merupakan prestasi Vietnam yang sangat tidak diduga sebelumnya? Sebagaimana diketahui, selama ini, Vietnam hampir tidak pernah menjadi fenomena atau menjadi pusat perhatian atau pusat perbincangan dalam pergaulan masyarakat internasional, baik di lingkungan Asia Tenggara, Asia, apalagi menjadi fenomena global. Ini sangat jauh berbeda dengan Indonesia yang pernah menjadi pusat perhatian dunia karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang sangat tinggi, sebelum akhirnya jatuh bersamaan dengan munculnya krisis ekonomi pada pertengahan 1997 lalu.
Sebelum ini, ingatan dunia tentang Vietnam tidak lebih dari perang negeri itu melawan Amerika Serikat, perang Vietnam, sistem pemerintahan rezim komunis yang otoriter, kemiskinan, ketidaan kebebasan, keterkungkungan rakyat, dan berbagai imej ketertinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Dengan perkataan lain, Vietnam hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat internasional.
Sekarang, tidak lagi demikian. Negeri komunis ini sudah mulai menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya, sebagaimana ia menunjukkan prestasi olah raganya yang sangat gemilang. Sudah barang tentu, prestasi sedemikian tidak lahir begitu saja, melainkan dicapai dari sebuah perencanaan yang matang, strategi yang kuat, dan komitmen yang solid.
Mungkin muncul pertanyaan, apa relevansi antara prestasi olah raga dengan kinerja perekonomian yang menjadi pusat bahasan dalam tulisan ini? Memang tidak ada rumusan baku yang memastikan relevansi prestasi suatu negara di bidang olah raga dengan prestasi di bidang ekonomi. Hanya saja, dalam konteks Sea Games 2003 ini, telah memunculkan spekulasi di kalangan ekonom bahwa prestasi masing-masing negara dalam olah raga tersebut sekaligus merefleksikan prestasi mereka di bidang perekonomian.
Artinya, urutan perolehan medali di Sea Games 2003 sama persis dengan urutan masing-masing negara di bidang ekonomi, khususnya dalam hal tingkat pertumbuhan.
Vietnam yang menjadi juara umum Sea Games juga berada pada urutan pertama dalam tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7% terhadap PDB pada tahun 2002. Thailand yang menjadi juara umum kedua juga berada pada urutan kedua dalam tingkat pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 5% pada PDB. Indonesia yang menduduki posisi juara umum ketiga juga berada pada urutan ke tiga dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4% pada PDB.
Kebangkitan Vietnam
Sebelum krisis ekonomi regional Asia Tenggara, Vietnam, Thailand, dan Indonesia menunjukkan pertumbuhan perekonomian yang hampir sama. Namun belakangan sangat perlu dicatat, bahwa Vietnam berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih maju dibanding Thailand dan Indonesia. Hal ini merupakan hasil jerih payah Vietnam yang sudah sejak lama melakukan usaha-usaha yang keras untuk meningkatkan kinerja perekonomiannya. Pada tahun 1994 Vietnam sudah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 8,8 % pada PDB dan 9,5% pada tahun 1995. Total pertumbuhan ekonomi Vietnam selama 1991-1995 rata-rata 8,2% pada PDB.
Sementara itu, pada tahun 1993 Thailand hanya berhasil mecapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 8,4% pada PDB, 8,5% pada tahun 1994, dan 8,6% pada tahun 1995. Sedangkan Indonesia mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih kecil dari Vietnam maupun Thailand.
Pertumbuhan Ekonomi
Prestasi olah raga Vietnam tidak jauh berbeda dengan prestasinya di bidang ekonomi. Negeri berpenduduk 81,2 juta ini juga terimbas dengan krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara pada pertengahan 1997, merupakan salah satu negara yang sudah mulai bangkit melalui tingkat pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada tahun 2002 lalu, Vietnam sudah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 7% pada PDB. Ini merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di negara-negara Asia pasca krisis.
Dengan pertumbuhan ini, maka Produk Domestik Bruto Vietnam tercatat sebesar US$ 33,6 milliard atau meningkat sebesar US$ 1,3 milliard dari tahun sebelumnya sebesar USS 32,3 milliard. Jika dibagi dengan jumlah penduduk Vietnam yang sebesar 80 juta, maka akan menghasilkan pendapatan per kapita sebesar US$ 420. Atau jika dirupiahkan dengan kurs Rp 8.500 per 1 US$, maka pendaptan per kepala masyarakat Vietnam mencapai Rp 3.570.000 per tahun.
Jumlah pendapatan per kapita ini tentu masih sangat jauh dari jumlah pendapatan perkapita Indonesia yang saat ini mencapai US$ 830 atau setara Rp 7.055.000 per tahun pada tahun 2002. Apalagi dibandingkan dengan Thailand yang sebesar US$ 1.987 atau setara dengan Rp 16.889.500 per kepala per tahun.
Akan tetapi, bilamana Vietnam dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang konstan pada tataran 10% per tahun, maka pada tahun 2010 atau 2011, akan dapat mencapai tingkat pendapatan per kapita yang sama dengan pendapatan perkapita Indonesia pada saat ini, yakni US$ 800 pada 2010 dan US$ 860 pada tahun 2011. sebagaimana diketahui, saat ini pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$ 830. Artinya, bila Vietnam di masa-masa mendatang dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 10% per tahun, maka akan dapat melipatgandakan GDP-nya dan pendapatan per kapitanya dalam 7 atau 8 tahun mendatang.
Bila ini benar-benar terjadi, maka Vietnam akan menjadi negara paling cepat di dunia dalam hal melipatganda-kan PDB-nya. Sebagaimana diketahui, Indonesia baru dapat melipatgandakan Produk Domestik Bruto (PDB)-nya dalam kurun waktu 17 tahun, Jepang membutuhkan 33 tahun, Amerika Serikat membutuhkan 47 tahun. Hingga saat ini, satu-satunya negara yang paling cepat melipatgandakan PDB-nya adalah RRC yang hanya membutuhkan 10 tahun saja.
Tetapi, upaya Vietnam untuk melipatgandakan PDB-nya dalam 7 atau 8 tahun, bukanlah suatu yang sulit bila melihat kinerja pertumbuhan ekonomi mereka sejak tahun 1993. Bahkan bukan tidak mungkin kalau hal itu bisa dicapai dalam 5 tahun, bila dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 12% seperti yang telah pernah dicapai Cina sebelumnya. Jika ini juga terjadi, maka Vietnam akan membayang-bayangi kemajuan Thailand, sekaligus meninggalkan Indonesia jauh di belakang.
Perekonomian Indonesia
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan dengan negara yang paling maju sekalipun seperti Thailand, perekonomian Vietnam sudah jauh lebih maju. Pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi Thailand hanya dapat mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 5% pada PDB, dan pendapatan per kapita Indonesia US$ 830, sedangkan Thailand dan Malaysia, masing-masing sudah mencapai US$ 1995 dan US$ 3400.
Seandainya, pada tahun 2010 Indonesia ingin mencapai tingkat pendapatan per kapita seperti Thailand sebesar US$ 1995 pada tahun 2002, maka Indonesia harus mampu meningkatkan GDPnya menjadi US$ 487,1 miliar atau lebih dari 2,5 kali lipat dari yang ada sekarang. Artinya, Indonesia harus mampu menciptakan tambahan US$ 307 miliar dalam 7 tahun mendatang. Pertanyaannya sekarang, mungkinkah itu dapat dicapai? Tampaknya sangat sulit.
Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 10% sekalipun Indonesia tetap tidak akan mencapai GDP Thailand 2002. Berikut ini gambaran GDP Indonesia dalam 7 tahun ke depan dengan pertumbuhan ekonomi 10 % misalnya sejak tahun 2004, maka GDP Indonesia hanya US$ 386,1 miliar (2010). Bahkan dengan pertumbuhan 12%, Indonesia tetap tidak akan mampu menambah US$ 201,6 miliar (2003), US$ 225,8 miliar (2004), US$ 252,9 miliar (2005), US$ 283,2 miliar (2006), US$ 317,2 miliar (2007), US$ 355,3 miliar (2008) US$397,9 miliar (2009) US$ 445,7 miliar (2010).
Gambaran ini sengaja dipaparkan sebagai refleksi yang memperlihatkan betapa besarnya ketertinggalan Indonesia dibanding Thailand. Hal ini tentu tidak terlepas dari strategi pembangunan ekonomi yang diaplikasikan masing-masing negara. Thailand dan Vietnam mengembangkan strategi ekonomi yang lebih baik dari Indonesia, hingga mendapatkan hasil yang juga lebih baik. Pertanyaannya sekarang, bagaiman strategi ekonomi yang harus dikembangkan Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya? Menurut hemat kami, salah satunya dengan memprioritaskan pengembangan industri yang berbasis sumber daya alam.
Pengedepanan industri berbasis sumber daya alam dalam hal ini, tentu memiliki alasan ekonomi yang sangat rasional, baik dikarenakan ketersediaan sumber daya yang memadai, maupun karena dapat menciptakan nilai tambah yang sangat besar melalui pengembangan industri.
Industri Petrokimia
Salah satu pilar kekuatan perekonomian Indonesia adalah sumber daya alam hasil tambang, khususnya minyak dan gas. Selama ini, pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia lebih difokuskan pada ekspor.
Alangkah ironisnya, bila sumber daya alam migas Indonesia yang sangat besar tidak dikembangkan dalam satu industri yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir.
Padahal sebagaimana diketahui, industri hulu migas (upstream industry) justru tidak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan industri hilirnya. Pengembangan industri hulu migas inilah yang menurut pandangan kami harus dimanfaatkan sebagai salah satu strategi dalam mengejar ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara liannya, khususnya Thailand dan Vietnam. Pengembangan industri ini, sangat dimungkinkan menciptakan efek positif yang signifian dalam menambah PDB Indonesia di masa-masa mendatang.
Pengalaman negara-negara lain juga sudah membuktikan betapa besarnya daya sumbang industri petrokimia terhadap pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Singapura yang tidak memiliki sumber daya bahan baku migas, bahkan pasar dan lahan mereka juga tidak memadai, tetapi berencana mengembangkan industri petrokimia dalam 10 tahun (2000-2010) dengan investasi sebesar US$ 40 miliar.
Pengembangan industri petrokimia di Singapura, tentu akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan di Indonesia. Singapura tentu harus mengimpor hampir seluruhnya, mulai dari bahan baku, tenaga kerja, hingga infrastukturnya. Sementara pengembangnya di Indonesia menjadi lebih mudah dan lebih murah, baik karena ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, bahkan pasarnya sangat potensial. Akan tetapi, walaupun investasinya menjadi relatif mahal, Singapura senantiasa bersikeras untuk mengembangkan industri tersebut.
Optimisme ini sudah barang tentu didasarkan pada perhitungan bisnis yang sangat matang berupa keuntungan yang akan diperolehnya dari industri tersebut dan didasarkan pada pertimbangan keberadaan industri petrokimia yang semakin dibutuhkan, baik dewasa ini maupun di masa-masa yang akan datang.
Mengapa industri petrokimia disebut menguntungkan? Sebab produksi industri petrokimia seperti aromatic dan olefin sangat berperan dalam menunjang industri tekstil, plastik, karpet, benang untuk ban mobil, pestisida, dan obat-obatan.Secara garis besar, aromatic dan olefin berperan sangat penting dalam menunjang industi makanan, sandang, papan, transportasi, pertanian, dan sektor-sektor lainnya. Peranannya yang sangat strategis inilah yang juga telah berperan membuat harga produk petrokimia berkisar US$ 400 sampai di atas US$ 1200 per ton. Dari setiap tonnya, dapat menghasilkan keuntungan antara US$ 80-US$ 200 dari setiap 1 ton.
Prospek keuntungan inilah yang juga mendorong negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Iran, Qatar, dan Abu Dhabi membangun industri petrokimia sampai tahun 2010 yang diperkirakan memproduksi olefin (ethylene) sebesar 15 juta ton per tahun. Usaha patungan Saudi Arabia, Exxon Mobil, Shell, BP, dan Phillip akan menginvestasikan senilai US$10-15 miliar. Arab Saudi sendiri melalui Sabic memperoleh laba senilai US$ 1 miliar lebih dengan revenue US$ 7,6 miliar.
Demikian juga dengan Eropa Timur, memprogramkan pembangunan industri petrokimia hulu dan turunannya sebesar 5 juta ton per tahun. Cina juga tidak mau ketinggalan dalam mengembangkan industri petrokimia hulu ini. Sampai tahun 2006, mereka merencanakan membangun industri petrokimia hulu berkapasitas 6,35 juta ton per tahun. Hal ini belum termasuk pembangunan industri petrokimia hulu hasil kerjasama antara Fujian Petrochemical, Exxon Mobil, dan Saudi Aramco berkapasitas 800.000 ton pertahun dengan nilai investasi sebesar US$ 3 miliar.
Indonesia yang sudah tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pengembangan industri petrokimia hulu ini, sudah seharusnya mengejar ketertinggalannya. Oleh karena itu, pemerintah sangat diharapkan agar sesegera mungkin merealisasikan pembangunan industri petrokimia hulu ini di Indonesia, baik dengan menanamkan modalnya sendiri maupun dengan bekerjasama dengan pihak swasta asing.
Sebagai pembanding betapa pentingnya industri petrokimia untuk kepentingan nasional bisa dilihat dari Tabel skala 20 negara/daerah peringkat tertinggi industri petrokimia dunia. Amerika Serikat (terdiri dari beberapa negara bagian) tampak lebih leading. Peringkat tertinggi per daerah adalah Al Jubail (Arab Saudi) disusul Chiba (Jepang), Yeochon dan Ulsan (Korea Selatan), serta Mai Liao (Taiwan). Selengkapnya lihat tabel.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain, dimana setiap pembangun-an industri petrokimia hulu, pemerintah masing-masing negara ternyata selalu mengambil peran yang lebih besar, khususnya dalam permodalan. Dalam PCS (Petrochemical of Singapore), pemerintah Singapura memiliki saham. Demikian juga kepemilikan saham pemerintah Thailand dalam NPC (National Petrochemical Corporation), saham pemerintah Taiwan dalam CPDC (Chinesse Petrochemical Development Corporation), Saudi Arabia dalam SABIC (Saudi Basic Industry Corporation), saham pemerintah Mesir pada ECHEM (Egypt Petrochemical Holding Company).
Jika dibandingkan dengan kepemilikan industri pupuk, seperti 14 unit industri pupuk urea yang dimiliki Indonesia saat ini, 8 unit di antaranya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan 6 unit lainnya dikhususkan untuk ekspor, maka keberadaan Industri petrokimia jelas memperlihatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Dari segi bisnis, membangun 6 unit pabrik pupuk urea untuk ekspor berkapasitas 3,4 juta ton pertahun dengan investasi sebesar US$ 2,1 miliar, hanya memperoleh revenue US$ 476 juta (harga pupuk sebesar US$ 140/ton).
Sedangkan membangun industri petrokimia hulu dengan investasi yang sama, dapat menghasilkan sekitar US$ 1,4 miliar. Keuntungan ini belum termasuk peranan industri kimia hulu yang akan memperkuat struktur industri Indonesia, khususnya industri-industri yang sangat tergantung dengan hasil industri petrokimia. Di samping itu, revenue yang besar akan menyumbang peningkatan penerimaan negara yang lebih besar, baik dalam bentuk pajak penghasilan (PPh) ataupun pajak pertambahan nilai (PPn).
Dengan berbagai pertimbangan yang ada, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka menurut hemat kami, Indonesia harus segera membentuk Industri Pertokimia Nasional atau National Petrochemical Industry (NPI) dengan pemerintah sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Ketertinggalan dalam membangun industri pertokimian ini akan berakibat semakin buruk bagi perekonomian Indonesia, yakni semakin memperparah tingkat ketergantungan industri nasional terhadap komponen impor, sebagaimana yang menjadi momok yang menekan daya saing produksi industri Indonesia dalam perdagangan global, khususnya industri-industri tekstil, industri berbagai barang berbahan plastik, benang untuk industri ban mobil, pestisida, dan industri bahan baku obat-obatan.