Indonesia adalah negara kaya namun relatif masih belum makmur dan sejahtera. Hal itu terlihat dari masih rendahnya angka GDP (Gross Domestic Product), penerimaan pemerintah dari Pajak (PPn dan PPh), Non Pajak, cadangan devisa, serta masih sempitnya lapangan pekerjaan.
GDP perkapita Indonesia tahun 2002 hanya sebesar US$ 830 dan tahun 2003 US$ 991, lebih tinggi dari Vietnam namun masih lebih rendah dari negara-negara Asean lainnya. Bandingkan dengan GDP perkapita tahun 2002 Philipina (US$ 966), China (US$ 963), Thailand (US$ 2003), Malaysia (US$ 3,869), dan Singapura (US$ 20,917). Tahun 1996 sebelum krisis, dengan jumlah penduduk 197,2 juta jiwa GDP Indonesia US$ 223,5 miliar sehingga sudah diperoleh GDP perkapita Indonesia US$ 1,134.
Mengenai cadangan devisa, tahun 2002 Indonesia hanya mempunyai US$ 30,5 M masih lebih rendah dari cadangan devisa Malaysia (US$ 32,01 M), Thailand (US$ 38,92 M), Singapura (US$ 79,04 M), dan China (US$ 291,13 M). Dari angka-angka tersebut disimpulkan bahwa tingkat kemakmuran dan kesejahteraan Indonesia di Asean masih berada pada posisi ke-5 di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina.
Cara meningkatkan GDP perkapita serta sekaligus meningkatkan peringkat kemakmuran dan kesejahteraan penduduk Indonesia, salah satu cara yang terutama adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor riel khususnya dalam bidang industri. Pertumbuhan ekonomi tinggi akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak dan menambah lapangan kerja. Menurut BMI (Business Monitor Indonesia, 2003), pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2003 sebesar 4%, dan forecast tahun 2004 dan 2005 sebesar 5%, jauh di bawah Vietnam dan China yang masing-masing sudah di atas 7%.
Indonesia perlu segera melakukan terobosan-terobosan dengan cara menciptakan usaha-usaha baru baik dengan pengembangan usaha yang ada, maupun menciptakan produk-produk baru dari sumberdaya alam (SDA) yang kita miliki melalui Industrialisasi dengan menggunakan Teknologi. “Technology is The Engine of Economic Growth, Building New Industries, Creating New Jobs and Improving Our Standard of Living,” kata William J. Clinton. GDP dan cadangan devisa Indonesia bisa lebih cepat ditingkatkan apabila sumberdaya alam yang ada khususnya hasil tambang, hasil pertanian, dan hasil hutan diolah atau diproses lebih dahulu di dalam negeri agar nilai tambahnya bisa ditingkatkan.
Pada tahun 1996 penerimaan Negara dari pajak sebesar Rp 48 triliun, dan tahun 2002 mencapai Rp 350 triliun namun tetap masih belum mencukupi untuk memenuhi anggaran belanja Negara sehingga harus ditutupi dari hasil non pajak seperti penjualan BUMN. Selama ini anggaran selalu defisit, artinya belanja rutin dan pembangunan jauh lebih besar dari penerimaan berupa pajak dan non pajak.
GDP dan pajak akan meningkat apabila dilakukan investasi di sektor riel seperti bidang industri dan infrastruktur. Untuk perolehan atau penghematan devisa perlu diprioritaskan pada industri yang menghasilkan produk-produk ekspor yang berbasis sumberdaya alam (SDA) yang tersedia di Indonesia.
Usaha-usaha baru untuk meningkatkan pajak adalah, pertama, mengembangkan usaha yang sudah ada (ekspansi), dan kedua, menciptakan usaha-usaha baru dalam bidang industri (diversifikasi).
Indonesia sangat kaya akan sumberdaya alam. Perlu ada prioritas utama dalam pengelolaan sumberdaya alam yakni dengan meningkatkan nilai tambah melalui industrialisasi. Sumberdaya alam yang berlimpah bisa ditingkatkan nilai tambahnya melalui sentuhan teknologi untuk menghasilkan berbagai macam produk yang bisa bersaing di pasar domestik dan pasar global. Produk-produk baru yang nilai jualnya lebih tinggi akan memberikan dampak pada Pemerintah yang lebih besar berupa pajak dan cadangan devisa. Contoh meningkatkan nilai tambah dari sumberdaya alam MIGAS seperti Naphtha, Gas Alam, dan LPG jika pengolahan dilakukan di dalam negeri adalah sebagai berikut.
Naphtha
Selama ini Naphtha hasil refinery yang berjumlah 1,3 juta ton diekspor langsung dengan harga antara US$ 200-300 per ton. Jika Naphtha diolah di dalam negeri untuk dijadikan bahan serat Polyster (benang) untuk industri tekstil akan diperoleh produk-produk: Paraxylene dengan harga di atas US$ 500/ton, kemudian PTA dengan harga di atas US$ 600/ton, Polyster Chip US$ 1,000/ton, Polyster Fibre (serat polyser) US$ 1,200/ton, dan tekstil sekitar US$ 1,250/ton. Penghasilan pajak yang diperoleh Pemerintah dari berbagai produk hasil industri di dalam negeri itu jika dihitung rata-rata bisa mencapai US$ 629/ton.
Dari jumlah Naphtha yang sebesar 1,3 juta ton jika diolah di dalam negeri maka akan diperoleh total penerimaan Pemerintah dari pajak sebesar US$ 817,17 juta (1,3 juta x US$ 629). Total penerimaan dari pajak dan penjualan Naphtha ke dalam negeri untuk industri sebesar US$ 1,077 miliar, itu jauh lebih besar dibanding jika Naphtha ekspor dengan penghasilan hanya sebesar US$ 390. Setiap produk yang dihasilkan dari pengolahan Naphtha di dalam negeri akan memberikan keuntungan untuk Pemerintah baik berupa pajak PPn dan PPh serta lapangan kerja.
Gas Alam
Saat ini Indonesia sudah mulai mengekspor gas alam langsung melalui pipa, di samping ekspor gas berupa LNG. Apabila gas alam sejumlah 124 MMSCFD diekspor dengan harga US$ 2,3/MMBTU, pemerintah akan memperoleh penerimaan dari bagi hasil dan pajak sebesar US$ 65,9 juta/tahun (0,7 x US$ 2,3 x 330 x 124 x 1000). Sedangkan kalau diproses di dalam negeri untuk menghasilkan amoniak, methanol, ethyl hexanol, acrylonitrile, dan amonium nitrat sekalipun dengan harga gas lebih murah (US$ 1/MMBTU), pemerintah akan memperoleh pendapatan dari bagi hasil dan pajak sebesar US$ 79,4 juta/tahun (dari gas sebesar US$ 28,6 juta, ditambah dari pajak sebesar US$ 66,70 juta).
Dari sini dapat dilihat bahwa dengan mengekspor hasil tambang berupa gas alam tanpa diolah terlebih dahulu, pemerintah bukan hanya akan kehilangan pendapatan (potential losses) sebesar US$ 66,70 juta per tahun juga kehilangan kesempatan lapangan kerja.
Industri yang menggunakan bahan baku Migas (Minyak dan Gas Alam) disebut industri petrokimia. Industri petrokimia yang mempunyai nilai tambah tinggi produk-pro-duknya bisa digunakan untuk mendukung berbagai keperluan seperti untuk industri pangan, sandang, papan, telekomunikasi, transportasi, pertahanan dan keamanan. Selain Migas, sumberdaya alam lainnya seperti hasil pertanian, kehutanan, perikan-an, dan peternakan juga bisa ditingkatkan nilai tambahnya melalui proses Industri.
L P G
LPG (Liquified Petroleum Gas) adalah campuran propane (C3) dan butane (C4), yang bisa digunakan baik sebagai energi maupun sabagai bahan baku industri. Sejak tahun 1991 sampai tahun 2000 jumlah LPG yang diekspor lebih dari 2 juta ton per tahun dengan harga rata-rata US$ 150 per ton. Apabila LPG diproses di dalam negeri akan dihasilkan produk propylene dan butadiene yang selanjutnya jika diproses akan menghasilkan polypropylene (PP) dan Styrene Butaniene Rubber (SBR), masing-masing untuk keperluan plastik dan industri ban.
Jika komposisi LPG terdiri dari 70% propane dan 30% butane, nilai tambah dari perolehan Pemerintah dari LPG diekspor jauh lebih rendah jika dibandingkan bila diproses di dalam negeri. Dengan harga jual US$ 150/ton, ekspor 2 juta ton LPG menghasilkan penerimaan Pemerintah sebesar US$ 300 juta per tahun. Tetapi apabila diproses dalam negeri Pemerintah akan mendapatkan tambahan penerimaan dari LPG dan pajak produk-produk petrokimia (PPn dan PPh) sebesar US$ 384 juta pertahun sehingga penerimaan total Pemerintah dari LPG meningkat menjadi US$ 609 juta per tahun walaupun dengan harga subsidi sebesar US$ 25/ton.
Gerakan Daya Saing
Peningkatan perolehan pajak dan devisa dengan melakukan investasi di sektor riel tidak mungkin bisa berjalan dengan mulus tanpa memperhatikan daya saing Indonesia di pasar global, karena daya saing merupakan cerminan dari para investor untuk menanamkan investasinya. Menurut BMI, daya saing Indonesia di dunia internasional (global competitiveness) saat ini berada pada posisi urutan 76, dan khusus di antara negara-negara berpenduduk di atas 20 juta jiwa Indonesia berada pada posisi urutan 28 jauh di bawah Thailand yang berada pada urutan 16. Makin baik peringkat daya saing Indonesia di pasar global makin banyak investor yang menanamkan investasinya di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan BMI daya saing setiap Negara didasarkan pada tiga paramater yaitu politik, ekonomi, dan iklim usaha. Peringkat daya saing Indonesia saat ini (kwartal I 2004) adalah, daya saing politik pada peringkat 91, daya siang ekonomi pada peringkat 49, dan daya saing iklim usaha pada peringkat 73. Atau, secara keseluruhan (gabungan) peringkat daya saing Indonesia di Asia berada pada urutan ke-76.
Memperbaiki daya saing Indonesia di pasar global harus dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia, dipelopori Pemerintah dan didukung oleh legislatif, yudikatif, partai poitik, dan organisasi yang ada di masyarakat termasuk media massa cetak dan elektronik. Untuk itu perlu Pemerintah mencanangkan Gerakan meningkatkan Daya Saing (GDM) serta mensosialisasikan kepada seluruh aparat Pemerintah dan masyarakat.
Penerimaan Pemerintah
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa meningkatkan GDP dan Devisa apabila investasi diarahkan ke sektor riel, seperti bidang Industri yang menghasilkan produk-produk selain untuk kebutuhan dalam negeri juga diarahkan untuk andalan ekspor.
Pertumbuhan industri di sektor riel akan meningkatkan penerimaan Pemerintah dari pajak (PPn dan PPh) serta memberikan lapangan kerja dan perolehan/penghematan devisa. Penerimaan Pemerintah yang meningkat dari sektor pajak akan memberikan kesejahteraan baik untuk pegawai pemerintah maupun untuk masyarakat dengan meningkatkan pelayanan umum seperti sektor pendidikan, kesehatan, sosial, pengembangan sarana seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan lain sebagainya.
Saat ini banyak perusahaan-perusahaan manufakturing dan industri berhenti dan tutup karena berbagai masalah terutama daya saing di pasar global. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator harus mendorong pengusaha agar mempertahankan industrinya tetap beroperasi, jika perlu Pemerintah memberikan insentif.
Keberhasilan pembangunan industri harus didukung oleh kerjasama antara Pemerintah/BUMN dengan swasta nasional dan asing. Sejauh masih cukup menarik bagi inestor Pemerintah tidak perlu berpartisipasi dalam investasi. Peranan Pemerintah cukup sebatas sebagai regulator dan fasilitator untuk menciptakan iklim investasi yang dapat mendorong swasta nasional maupun swasta asing mau menanamkan modalnya. Untuk sektor industri hulu, yang umumnya kurang menarik bagi investor swasta lokal karenya investasinya cukup besar, Pemerintah perlu turun tangan. Pengorbanan Pemerintah di sektor hulu dengan memberikan insentif akan memberikan imbalan kepada penerimaan Pemerintah yang jauh lebih besar di sektor-sektor hilir berupa pajak dan lapangan kerja.
Sudah diketahui bersama bahwa investasi di sektor riel harus menjadi prioritas utama. Namun sektor riel sendiri masih harus ada prioritas, apakah investasi sektor riel itu di bisnis inti atau di bisnis pendukung.
Sektor riel bisnis inti yaitu sektor di bidang industri yang menghasilkan produk-produk baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk pasar ekspor, sedangkan bisnis pendukung sektor riel contohnya adalah seperti property (perkantoran, hotel, perumahan, mall, dll). Demikan juga dalam hal pemberian kredit perbankan diantara keduanya harus ada prioritas. Kredit perbankan pada sektor riel industri khususnya Industri yang berbasis bahan baku sumberdaya alam harus mempunyai porsi kredit lebih besar, karena sektor industri tersebut selain akan meningkatkan penerimaan Pemerintah dari pajak dan tambahan lapangan kerja juga akan memberikan dampak lainnya yaitu perolehan dan penghematan devisa. Selain itu masih akan terjadi pula trickle down effect, menggerakan usaha kecil dan menengah, serta meningkatkan daya beli sebagian besar anggota masyarakat yang terlibat.
Penulis: seorang pemikir dan pelaku industri. Mantan Direktur Litbang PT. Petrokimia Gresik 1990-1995 dan Direktur Utama PT. Petrokimia Gresik 1995-2001, ini sukses merancang dan memimpin beberapa proyek industri pupuk dan kimia di tanah air. Ia seorang CEO andal dan bertangan dingin. Membidani lahirnya pupuk majemuk phonska yang kini sebagai obat mujarab untuk meningkatkan produksi pangan khususnya beras.Merancang dan memimpin pembangunan beberapa proyek strategis dalam mengukuhkan pondasi industri pupuk dan kimia di tanah air. Seperti, proyek Hidrogen Peroksida (H202), Asam Formiat (Formic Acid), Amonium Nitrat (bahan peledak), proyek Katalis, Gasket, Amoniak dan Urea, Gypsum Plasterboard, Proyek 2-Ethyl Hexanol (Octanol), dan pabrik peleburan tembaga di PT Pupuk Kujang dan PT Petrokimia Gresik dengan total investasi kurang lebih 1,15 miliar dolar AS. Berhasil menyehatkan manajemen dan membesarkan Petrogres, sehingga sejajar dengan industri pupuk dunia.